Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Jumat, 05 November 2010

PUTU WIJAYA MENATAP BAHASA INDONESIA DENGAN KACA MATA BARU


SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Putu wijaya hadir sebagai pembicara pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia yang dilaksanakn oleh HMPS Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia pada tanggal, 27 Oktober 2010. Dalam sesempatan ini bliau membawakan materi"Menatap Bahasa Indonesia Dengan Kacamata Baru".

MENATAP BAHASA INDONESIA
DENGAN KACA MATA BARU



“Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa kita,” bunyi lirik dalam salah
satu lagu nasional yang diajarkan kepada anak-anak SD. Kita semua
sudah ikut menyanyikannya. Setiap peringatan Sumpah Pemuda pada 28
Oktober kita juga sudah mengulangi kembali sumpah para perintis
kemerdekaan itu, nyaris tanpa berpikir lagi. Kalimat sumpah itu begitu
saja mengucur dari mulut.

Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putera-puteri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air
Indonesia. Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbahasa persatuan
satu, bahasa Indonesia.

Tak banyak orang peduli lagi, bahwa bahasa Melayu Pasar yang minoritas
itu, merupakan sebuah hikmah persatuan, ketika disepakati sebagai
bahasa nasional. Seandainya bahasa mayoritas yang menjadi bahasa
nasional, besar kemungkinan para minoritas akan merasa didominasi. Ada
contoh di beberapa negara Asia, bahasa persatuan tidak benar-benar
mampu menjadi bahasa nasional, karena bahasa mayoritas yang dipilih,
enggan diterima oleh kelompok-kelompok minoritas.

Sungguh sebuah keajaiban hanya dalam beberapa tahun, lebih dari 700
bahasa yang ada di Indonesia, meminggirkan dirinya dan memberikan
kesempatan pada bahasa Indonesia untuk kepentingan-kepentingan formal.
Walhasil bahasa Indonesia bukan hanya sekedar alat berkomunikasi,
tetapi juga salah satu pilar yang membuat negeri yang kaya perbedaan
ini, tak keberatan untuk memestakan semboyan Bhineka Tungga Ika.

Bahasa Indonesia yang juga tak mengenal tingkatan bahasa, telah
membuat masyarakat mulai berjarak dengan feodalisme. Karena setiap
orang dapat berbicara kepada yang lain dalam posisi yang setara
sebagai warganegara, kendati berbeda status soial dan pendidikan.
Bahasa Indonesia yang tak mengenal jamak-tunggal dalam penulisan, tak
membedakan antara yang sedang, akan dan sudah terjadi, tak mengenal
perbedaan perempuan dan lelaki, membuat bahasa adalah timbunan rasa.
Bahasa bukan hanya sekedar alat menyampaikan pikiran, tetapi juga
menunjukkan pandangan hidup, panutan jiwa serta keyakinan yang
mendasar.

Bahasa Indonesia dengan demikian mengandung berbagai aspek yang tidak
hanya akan merepotkan para ahli bahasa dengan desiplin linguistik,
tetapi juga sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi, moral, etika
bahkan juga agama dan lain sebagainya. Bagi orang asing, bbelajar
ercakap delam bahasa Indonesia karena “praktisnya”, bisa dilakukan
dalam tempo 3 bulan. Tetapi untuk memahami dengan afdol sebuah teks
dalam bahasa Indonesia, atau sebuah wacana tertulis dalam bahasa
Indonesia, diperlukan rentang waktu yang panjang. Karena rasa tidak
ada penanda-penanda kepastiannya. Rasa tidak bisa dipahami secara ilmu
pasti. Rasa sangat tergantung dari apa yang disebut orang Bali
desa-kala-patra (tempat-waktu dan keadaan)

Kapan kata ya berarti ya dan tidak sebaliknya? Kapan kata besok
berarti besok dan bukan entah kapan. Kapan kata entah berarti sama
sekali tidak diketahui, dan kapan berarti sudah diketahui hanya tidak
dapat disampaikan pada saat itu. Kapan pasrah berarti menyerah dan
kapan itu berarti menerima apa adanya serta kapan jugaitu berarti
kesiapan dan tekad untuk memperjuangkannya apa pun yang terjadi.

Bahasa Indonesia nampak mudah, tetapi ternyata banyak belokan-belokan
dan lubang-lubangnya yang bisa mengecoh. Untuk lebih memahaminya, tak
cukup hanya menatap aksara, tetapi juga melihat praktek kata dan
kalimat-kalimat itu di lapangan. Sastra dan drama memberikan andil
besar untuk lebih memahami lagi bahasa Indonesia. Tetapi sastra dan
drama bukan hanya sekedar alat untuk mempelajari bahasa – meskipun
demikianlah kini sering posisinya. Sastra dan drama di Indonesia yang
mempergunakan bahasa sebagai basisnya, dapat dipakai melacak lebih
mendalam, lebih menukik, seluk-beluk konsep dan pikiran yang
berkembang di dalam bahasa Indonesia.

Kembali kepada Sumpah Pemuda yang saya singgung di awal tulisan ini.
Pada setiap peringatan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia yang disebutkan
sebagai bahasa persatuan selalu dimaksudkan adalah bahasa Indonesia
yang awalnya Melayu Pasar itu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Saya
mencoba untuk mengajak berpikir sedikit melebar. Bukan untuk
mengatakan, bahwa itu semua salah. Saya hanya sekedar mencoba mengajak
melihat apa yang disebut bahasa Indonesia dengan sudut pandang yang
berbeda.

Bagi saya, pengertian bahasa dalam Sumpah Pemuda, di samping itu
menunjuk bahasa nasional yang akan dipakai untuk pergaulan formal,
idiom bahasa di situ juga bisa ditafsirkan sebagai sudut atau cara
atau sikap pandang. Bahasa Indonesia dengan demikian tidak hanya
sekedar menunjuk pada bahasa – dalam hal ini bahasa Melayu Pasar –
tetapi cara orang Indonesia bersikap, bereaksi, berekspresi, berbuat,
bertindak, berpikir, merasakan dan sebagainya. Bahasa Indonesia adalah
pandangan hidup, keyakinan dan filosofi mendasar orang Indonesia, baik
ketika ia menghadapi sesama prang Indonesia atau pun yang non
Indonesia.

Dengan melihat kata “bahasa Indonesia” seperti itu, sumpah itu
sebenarnya tidak hanya mengukapkan tekad untuk membuat bahsa Melayu
Pasar menjadi bahasa persatuan, tetapi juga menunjukkan sikap mendasar
bangsa Indonesia. Dalam pidato Lahirnya Panca Sila. Bung Karnio
merumuskan filsofi, dasar negara Republik Indonesia adalah Panca
Sila. Lima Sila. Lima Sila itu kemudian diperas menjadi trisila. Dan
trisila pun bisa diperas lagi menjadi eka sila, yakni: gotong-royong.

Kata atau idiom bahasa dalam Sumpah Pemuda tidak hanya berarti bahasa
tetapi juga pandangan hidup. Walhasil gotong-royong itu. Tetapi bukan
gotong-royong dalam arti keroyokan. Gotong royong yang sudah merangkum
kelima Sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan untuk selurung bangsa Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan dan
keadilan sosial untuk seluruh bangsa Indonesia.

Di dalam karya-karya sastra, “bahasa Indonesia” (sikap mendasar bangsa
Indonesia) jelas sekali nampak. Satu barisan sastrawan Indonesia ingin
mempertahankan roh kebudayaan Timur, pihak yang lain ingin berkiblat
pada rasionalisme Barat. Polemik kebudayaan telah mencatat diskusi
yang tidak berkesudahan antara STA dan Sanusi Pane, yang masih
diulangi oleh STA pada pidatonya di Kongres Kebudayaan 1991 di Taman
Mini, merupakan pergumulan pikiran yang terus bertumbuh, berantem dan
memang tidak perlu didamaikan. Itulah yang menjadi motor alias
dinamika yang member inspirasi berbagai pandangan bisa berkembang di
taman bunga kemerdekaan.

Dibandingkan dengan sastra dan drama di masa Pujangga Baru dan
Angkatan 45, sastra dan drama Indonesia kini, telah memberikan
sumbangan yang tidak sedikit. Tak kurang dari para politikus sendiri
di masa perintisan kemerdekaan yang sudah mempergunakan sastra dan
drama sebagai alat berjuang. Bung Karno dan Bung Sjahrir misalnya.
Kini sastra dan drama semakin kental lagi posisinya sebagai alat
perjuangan/pembangunan. Bukan hanya keindahan, kemerduan, kemolekan
yang disuarakan oleh keduanya, tetapi juga pemikiran dan
renungan-renungan yang mendalam.

Bahkan kemajuan bahasa Indonesia di dalam sastra dan drama seringkali
sedemikian cepatnya, sehingga membuat cabang ilmu lain yang memakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, sering keteteran. Hukum,
politik dan ekonom, misalnya, sering sekali kepergok masih memakai
bahasa masa lampau yang ketinggalam. Akibatnya gejolak zaman yang
tertangkap oleh bahasa Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam
sastra dan drama, tak muncul dalam tulisan-tulisan politik, ekonomi
dan hukum. Itu mungkin benar, mungkin tidak, terjadi karena bahasa
ketiganya adalah bahasa ilmiah, sedangkan drama dan sastra adalah
bahasa yang mewakili estetika baru, tapi yang jelas, terutama karena
manusia-manusia yang berkecimpung dalam politik, ekonomi dan hukum
jarang membaca sastra dan menekuni drama.

Banyak hal terjadi bila masyarakat terbelah. Satu kelompok orang sudah
memakai bahasa Indonesia baru yang sesuai dengan desa-kala-patra,
sementara sebagian lain (malangnya justru mereka yang bekerja dalam
birokrasi) tetap memakai bahasa yang lama. Bahasa Indonesia yang mulai
lain “bahasanya“ itu menimbulkan banyak ketidak-nyamanan. Kenyataan
itulah yang membawa kita sampai kepada sebuah kesimpulan, bahwa
bahasa Indonesia, memang benar-benar harus dikuasai dalam membangun
Indonesia yang baru dan satu. Khususnya bagi para birokrat. Karena
kalau mereka bertahan memakai bahasa yang sudah kedaluwarsa, akan
timbul banyak korban. Bayarannya juga akan sangat mahal.

Dengan melihat persoalan seperti itu, saya sampai pada keyakinan,
bahwa bahasa Indonesia tidak hanya harus dipelajari oleh guru-guru
bahasa, tetapi oleh semua orang Indonesia dari desiplin mana pun.
Khususnya mereka yang akan hidup dalam bidang politik, hukum dan
ekonomi, sangat wajib belajar bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa
Indonesia yang tidak imbang dengan zaman (desa-kala-patra) , akan
membuat mereka hidup di masa lampau dan akan selalu gagal memahami
fenomena masa kini. Dan itu sudah jelas kelihatan pada para
wakil-wakil rakyat serta banyak pemimpin kita sekarang ini.

Bahasa Indonesia adalah senjata bekerja yang ampuh. Sastra dan drama
menjadi ujung tombaknya. Alat untuk mengisi kemerdekaan, dengan
pembangunan, pembaruan, perubahan, bahkan juga pembalikan-pembalikan
apabila diperlukan. Karenanya wajib dikuasai dengan baik. Diperlukan
tes bahasa Indonesia buat siapa pun yang ingin menjadi karyawan di
Indonesia, bukan hanya tes bahasa Inggris seperti yang terjadi
sekarang.