Jumat, 05 November 2010
PUTU WIJAYA MENATAP BAHASA INDONESIA DENGAN KACA MATA BARU
SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Putu wijaya hadir sebagai pembicara pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia yang dilaksanakn oleh HMPS Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia pada tanggal, 27 Oktober 2010. Dalam sesempatan ini bliau membawakan materi"Menatap Bahasa Indonesia Dengan Kacamata Baru".
MENATAP BAHASA INDONESIA
DENGAN KACA MATA BARU
“Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa kita,” bunyi lirik dalam salah
satu lagu nasional yang diajarkan kepada anak-anak SD. Kita semua
sudah ikut menyanyikannya. Setiap peringatan Sumpah Pemuda pada 28
Oktober kita juga sudah mengulangi kembali sumpah para perintis
kemerdekaan itu, nyaris tanpa berpikir lagi. Kalimat sumpah itu begitu
saja mengucur dari mulut.
Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putera-puteri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air
Indonesia. Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbahasa persatuan
satu, bahasa Indonesia.
Tak banyak orang peduli lagi, bahwa bahasa Melayu Pasar yang minoritas
itu, merupakan sebuah hikmah persatuan, ketika disepakati sebagai
bahasa nasional. Seandainya bahasa mayoritas yang menjadi bahasa
nasional, besar kemungkinan para minoritas akan merasa didominasi. Ada
contoh di beberapa negara Asia, bahasa persatuan tidak benar-benar
mampu menjadi bahasa nasional, karena bahasa mayoritas yang dipilih,
enggan diterima oleh kelompok-kelompok minoritas.
Sungguh sebuah keajaiban hanya dalam beberapa tahun, lebih dari 700
bahasa yang ada di Indonesia, meminggirkan dirinya dan memberikan
kesempatan pada bahasa Indonesia untuk kepentingan-kepentingan formal.
Walhasil bahasa Indonesia bukan hanya sekedar alat berkomunikasi,
tetapi juga salah satu pilar yang membuat negeri yang kaya perbedaan
ini, tak keberatan untuk memestakan semboyan Bhineka Tungga Ika.
Bahasa Indonesia yang juga tak mengenal tingkatan bahasa, telah
membuat masyarakat mulai berjarak dengan feodalisme. Karena setiap
orang dapat berbicara kepada yang lain dalam posisi yang setara
sebagai warganegara, kendati berbeda status soial dan pendidikan.
Bahasa Indonesia yang tak mengenal jamak-tunggal dalam penulisan, tak
membedakan antara yang sedang, akan dan sudah terjadi, tak mengenal
perbedaan perempuan dan lelaki, membuat bahasa adalah timbunan rasa.
Bahasa bukan hanya sekedar alat menyampaikan pikiran, tetapi juga
menunjukkan pandangan hidup, panutan jiwa serta keyakinan yang
mendasar.
Bahasa Indonesia dengan demikian mengandung berbagai aspek yang tidak
hanya akan merepotkan para ahli bahasa dengan desiplin linguistik,
tetapi juga sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi, moral, etika
bahkan juga agama dan lain sebagainya. Bagi orang asing, bbelajar
ercakap delam bahasa Indonesia karena “praktisnya”, bisa dilakukan
dalam tempo 3 bulan. Tetapi untuk memahami dengan afdol sebuah teks
dalam bahasa Indonesia, atau sebuah wacana tertulis dalam bahasa
Indonesia, diperlukan rentang waktu yang panjang. Karena rasa tidak
ada penanda-penanda kepastiannya. Rasa tidak bisa dipahami secara ilmu
pasti. Rasa sangat tergantung dari apa yang disebut orang Bali
desa-kala-patra (tempat-waktu dan keadaan)
Kapan kata ya berarti ya dan tidak sebaliknya? Kapan kata besok
berarti besok dan bukan entah kapan. Kapan kata entah berarti sama
sekali tidak diketahui, dan kapan berarti sudah diketahui hanya tidak
dapat disampaikan pada saat itu. Kapan pasrah berarti menyerah dan
kapan itu berarti menerima apa adanya serta kapan jugaitu berarti
kesiapan dan tekad untuk memperjuangkannya apa pun yang terjadi.
Bahasa Indonesia nampak mudah, tetapi ternyata banyak belokan-belokan
dan lubang-lubangnya yang bisa mengecoh. Untuk lebih memahaminya, tak
cukup hanya menatap aksara, tetapi juga melihat praktek kata dan
kalimat-kalimat itu di lapangan. Sastra dan drama memberikan andil
besar untuk lebih memahami lagi bahasa Indonesia. Tetapi sastra dan
drama bukan hanya sekedar alat untuk mempelajari bahasa – meskipun
demikianlah kini sering posisinya. Sastra dan drama di Indonesia yang
mempergunakan bahasa sebagai basisnya, dapat dipakai melacak lebih
mendalam, lebih menukik, seluk-beluk konsep dan pikiran yang
berkembang di dalam bahasa Indonesia.
Kembali kepada Sumpah Pemuda yang saya singgung di awal tulisan ini.
Pada setiap peringatan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia yang disebutkan
sebagai bahasa persatuan selalu dimaksudkan adalah bahasa Indonesia
yang awalnya Melayu Pasar itu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Saya
mencoba untuk mengajak berpikir sedikit melebar. Bukan untuk
mengatakan, bahwa itu semua salah. Saya hanya sekedar mencoba mengajak
melihat apa yang disebut bahasa Indonesia dengan sudut pandang yang
berbeda.
Bagi saya, pengertian bahasa dalam Sumpah Pemuda, di samping itu
menunjuk bahasa nasional yang akan dipakai untuk pergaulan formal,
idiom bahasa di situ juga bisa ditafsirkan sebagai sudut atau cara
atau sikap pandang. Bahasa Indonesia dengan demikian tidak hanya
sekedar menunjuk pada bahasa – dalam hal ini bahasa Melayu Pasar –
tetapi cara orang Indonesia bersikap, bereaksi, berekspresi, berbuat,
bertindak, berpikir, merasakan dan sebagainya. Bahasa Indonesia adalah
pandangan hidup, keyakinan dan filosofi mendasar orang Indonesia, baik
ketika ia menghadapi sesama prang Indonesia atau pun yang non
Indonesia.
Dengan melihat kata “bahasa Indonesia” seperti itu, sumpah itu
sebenarnya tidak hanya mengukapkan tekad untuk membuat bahsa Melayu
Pasar menjadi bahasa persatuan, tetapi juga menunjukkan sikap mendasar
bangsa Indonesia. Dalam pidato Lahirnya Panca Sila. Bung Karnio
merumuskan filsofi, dasar negara Republik Indonesia adalah Panca
Sila. Lima Sila. Lima Sila itu kemudian diperas menjadi trisila. Dan
trisila pun bisa diperas lagi menjadi eka sila, yakni: gotong-royong.
Kata atau idiom bahasa dalam Sumpah Pemuda tidak hanya berarti bahasa
tetapi juga pandangan hidup. Walhasil gotong-royong itu. Tetapi bukan
gotong-royong dalam arti keroyokan. Gotong royong yang sudah merangkum
kelima Sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan untuk selurung bangsa Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan dan
keadilan sosial untuk seluruh bangsa Indonesia.
Di dalam karya-karya sastra, “bahasa Indonesia” (sikap mendasar bangsa
Indonesia) jelas sekali nampak. Satu barisan sastrawan Indonesia ingin
mempertahankan roh kebudayaan Timur, pihak yang lain ingin berkiblat
pada rasionalisme Barat. Polemik kebudayaan telah mencatat diskusi
yang tidak berkesudahan antara STA dan Sanusi Pane, yang masih
diulangi oleh STA pada pidatonya di Kongres Kebudayaan 1991 di Taman
Mini, merupakan pergumulan pikiran yang terus bertumbuh, berantem dan
memang tidak perlu didamaikan. Itulah yang menjadi motor alias
dinamika yang member inspirasi berbagai pandangan bisa berkembang di
taman bunga kemerdekaan.
Dibandingkan dengan sastra dan drama di masa Pujangga Baru dan
Angkatan 45, sastra dan drama Indonesia kini, telah memberikan
sumbangan yang tidak sedikit. Tak kurang dari para politikus sendiri
di masa perintisan kemerdekaan yang sudah mempergunakan sastra dan
drama sebagai alat berjuang. Bung Karno dan Bung Sjahrir misalnya.
Kini sastra dan drama semakin kental lagi posisinya sebagai alat
perjuangan/pembangunan. Bukan hanya keindahan, kemerduan, kemolekan
yang disuarakan oleh keduanya, tetapi juga pemikiran dan
renungan-renungan yang mendalam.
Bahkan kemajuan bahasa Indonesia di dalam sastra dan drama seringkali
sedemikian cepatnya, sehingga membuat cabang ilmu lain yang memakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, sering keteteran. Hukum,
politik dan ekonom, misalnya, sering sekali kepergok masih memakai
bahasa masa lampau yang ketinggalam. Akibatnya gejolak zaman yang
tertangkap oleh bahasa Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam
sastra dan drama, tak muncul dalam tulisan-tulisan politik, ekonomi
dan hukum. Itu mungkin benar, mungkin tidak, terjadi karena bahasa
ketiganya adalah bahasa ilmiah, sedangkan drama dan sastra adalah
bahasa yang mewakili estetika baru, tapi yang jelas, terutama karena
manusia-manusia yang berkecimpung dalam politik, ekonomi dan hukum
jarang membaca sastra dan menekuni drama.
Banyak hal terjadi bila masyarakat terbelah. Satu kelompok orang sudah
memakai bahasa Indonesia baru yang sesuai dengan desa-kala-patra,
sementara sebagian lain (malangnya justru mereka yang bekerja dalam
birokrasi) tetap memakai bahasa yang lama. Bahasa Indonesia yang mulai
lain “bahasanya“ itu menimbulkan banyak ketidak-nyamanan. Kenyataan
itulah yang membawa kita sampai kepada sebuah kesimpulan, bahwa
bahasa Indonesia, memang benar-benar harus dikuasai dalam membangun
Indonesia yang baru dan satu. Khususnya bagi para birokrat. Karena
kalau mereka bertahan memakai bahasa yang sudah kedaluwarsa, akan
timbul banyak korban. Bayarannya juga akan sangat mahal.
Dengan melihat persoalan seperti itu, saya sampai pada keyakinan,
bahwa bahasa Indonesia tidak hanya harus dipelajari oleh guru-guru
bahasa, tetapi oleh semua orang Indonesia dari desiplin mana pun.
Khususnya mereka yang akan hidup dalam bidang politik, hukum dan
ekonomi, sangat wajib belajar bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa
Indonesia yang tidak imbang dengan zaman (desa-kala-patra) , akan
membuat mereka hidup di masa lampau dan akan selalu gagal memahami
fenomena masa kini. Dan itu sudah jelas kelihatan pada para
wakil-wakil rakyat serta banyak pemimpin kita sekarang ini.
Bahasa Indonesia adalah senjata bekerja yang ampuh. Sastra dan drama
menjadi ujung tombaknya. Alat untuk mengisi kemerdekaan, dengan
pembangunan, pembaruan, perubahan, bahkan juga pembalikan-pembalikan
apabila diperlukan. Karenanya wajib dikuasai dengan baik. Diperlukan
tes bahasa Indonesia buat siapa pun yang ingin menjadi karyawan di
Indonesia, bukan hanya tes bahasa Inggris seperti yang terjadi
sekarang.
Jumat, 04 Juni 2010
PRAG MATIK
BAB I
PENGERTIAN DAN ASPEK PRAGMATIK SERTA HAKIKAT BAHASA
A. Pengertian Pragmatik
Definisi pragmatik dikemukakan oleh beberapa ahli dengan redaksi yang berbeda. Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu penutur.
Menurut Leech (1993:8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat.
Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik , yaitu:
(1) Bidang yang mengkaji makna penutur;
(2) Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
(3) Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
(4) Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi participant yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Sedangkan Levinson (1987:1) mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan anatara lambang dengan penafsirannya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahawa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur.
B. Aspek-Aspek Pragmatik
Pragmatik adalah suatu kajian yang makna dan hubungannya dengan situasi ujar. adapun aspek-aspek dalam situasi ujar, yaitu:
1. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa).
Orang yang menyapa (penutur) dan orang (petutur). Jadi, penggunaan penutur dan petutur membatasi pragmatic pada bahasa lisan saja.
2. Konteks sebuah tuturan
Berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur yang membantu petutur menafsir makna tuturan.
3. Tujuan sebuah tuturan
Berkaitan dengan maksud penutur mengucapkan sesuatu.
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegaiatn tindak ujar
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak / performansi-performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu.
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tindak ilokusi / ilokusi untuk mengacu pada tindakan-tindakan tuturan seperti yang dinyatakan dalam dan memakai istilah tuturan untuk mengacu pada tindakan tuturan seperti yang telah diterangkan dalam tindak ujar. Dengan memakai istilah tuturan untuk mengacu produk linguistic tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam komunikasi yang berorientasi tujuan, meneliti sebuah tuturan merupakan usaha merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia meronstruksi tindakan apa yang menjadi tujan penutur ketika ia memproduksi tuturannya.
C. Tingkat Bahasa (Tata Bahasa)
Dalam pragmatik terdapat istilah tata bahasa komunikatif yang terdiri dari:
1. Tata bahasa komunikatif dan daya pragmatik
2. Metabahasa pragmatik
3. Aspek penyangkalan dan pertanyaan dalam bahasa Inggris
4. Implikatur-implikatur sopan-santun
BAB II
PRA ANGGAPAN DAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN
A. Pengertian Presuposisi ( Pra Anggapan)
Presuposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur, bukan kalimat. Enttailmen adalah sesuatu yang secara logis ada atau mengikuti apa yang ditegaskan di dalam tuturan. Yang memiliki entailmen adalah kalimat, bukan penutur.
Menurut (http://id.shvoong.com/tags/praanggapan) yang di acces pada tanggal 02 Juni 2010, selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah: Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. George Yule (2006 : 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur.
B. Ciri Praanggapan
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule;2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut :
(2) a. Gitar Budi itu baru
b. Gitar Budi tidak baru
Kalimat (2b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (2a). Praanggapan dalam kalimat (2a) adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (2b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (2b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (2a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi mempunyai gitar.
C. Jenis-Jenis Presuposisi
Informasi yang dipra-anggapkan yang mengikuti kata kerja ‘tahu’ dapat dianggap sebagai kenyataan dan dideskripsikan sebagai presuposisi faktif (nyata).
- Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
- Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
b. Dia sakit
http://id.shvoong.com/tags/praanggapan
- Presuposisi leksikal
Yang dalam pemakaiannya dengan menggunakan suatu bentuk dengan makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan presuposisi bahwa suatu makna lain (yang dinyatakan) dipahami. Di dalam kasus presuposisi leksika, pemakaian ungkapan khusus oleh penutur diambil untuk mempra-anggapkan sebuah konsep lain (tidak dinyatakan), sedangkan pada kasus presuposisi faktif, pemakaian ungkapan khusus diambil untuk mempra-anggapkan kebenaran informasi yang dinyatakan setelah itu.
Di samping presuposisi yang diasosiasikan dengan pemakaian kata-kata dan frasa-frasa tertentu, ada pula presuposisi struktural. Dalam hal ini, struktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalaisis sebagai presuposisi secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya.
- Presuposisi non-faktif
ialah suatu presuposisi yang diasumsikan tidak benar. Tipe struktur ini menciptakan suatu presuposisi factual tandingan yang berarti bahwa apa yang dipra-anggapkan tidak hanya benar, atau bertolak belakang denagn kenyataan. Biasanya juga disebut dengan suatu persyaratan konten-faktual mempra-anggapkan bahwa informasi dalam klausa bersyarat tidak benar pada saat tuturan itu terjadi.
- Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
a. Di mana Anda membeli sepeda itu?
b. Anda membeli sepeda
- Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
- Masalah proyeksi
Presuposisi kalimat sederhana akan berlangsung benar apabila kalimat sederhana itu menjadi bagian dari kalimat yang kompleks. Arti dari sebagian presuposisi (sebagai bagian-bagian) tidak mampu menjadi arti dari beberapa kalimat kompleks (sebagai keseluruhan). Hal ini dikenal sebagai masalah proyeksi.
D. Implikatur Percakapan
Asumsi dasar percakapan adalah jikalau tidak ditunjukkan sebaliknya, bahwa peserta-pesertanya mengikuti prinsipnkerja sama dan maksim-maksim. Di bawah ini merupakan contoh percakapan:
Charlene: Saya harap kamu membawakan roti dan keju.
Dexter : Ah, saya bawakan roti.
Penting dicatat, bahwa penuturlah yang menaympaikan makna lewat implikatur dan pendengrlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan asumsi kerja sama.
a. Implikatur Percakapan Umum
· Implikatur Berskala
Informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai.
b. Implikatur Percakapan Khusus
Seringkali percakapan kita terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara local. inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan implikatur percakapan khusus.
c. Sifat-sifat Implikatur Percakapan
Seluruh implikatur yang kita pikirkan sudah ditempatkan dalam percakapan dengan inferensi-inferensi yang dibuat oleh orang-orang yang mendengar tuturan-tuturan itu dan berusaha mempertahankan asumsi interaksi sama.
Implikatur-implikatur percakapan itu dapat dipungkiri secara eksplisit (diperkuat) dengan cara-cara yang berbeda.
d. Implikatur Konvensional
Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam pecakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya presuposisi leksikal, implikatur konvensisonal diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan.
BAB III
PRINSIP KERJA SAMA
Asumsi pragmatik ini merupakan acuan (point of reference). Untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus memenuhi prinsip (maksim). Dalam pragmatik dikontrol oleh maksim, sedangkan dalam gramatikal / tata bahasa diatur oleh kaidah.
Di dalam berkomunikasi, antara penutur dengan mitra tutur harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan.
Terdapat beberapa asumsi pragmatik, yaitu:
1. Maksim Kuantitas.
· Berbicara sejumlah yang dibutuhkan pendengar. Misalnya:
Ibu Kota Provinsi Jawa timur (secara kuatitas sangat jelas).
2. Maksim Kualitas.
Prinsip yang menghendaki orang-orang berbicara berdasarkan bukti-bukti yang memadai.
· Katakanlah hal yang sebenarnya.
· Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
· Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
Misalnya: buku itu dibuat dari kertas (bukti cukup memadai)
3. Maksim Relefansi
Penutur dan mitra tutur berbicara secara relefan berdasarkan konteks pembicaraan. Misalnya: di dalm komunikasi antara penutur dan mitra tutur harus saling menjaga prinsip kerja sama agar proses komunikasi berjalan dengan lancar.
4. Maksim Pelaksanaan / Cara
Maksim yang mengharuskan ppeserta tutur berbicara secara jelas dan tidak bermakna ambigu.
Misalnya: A : Dia penyanyi Solo
B : Benar, dia sering tampil di TVRI.
Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan, sebagai berikut:
1. Maksim Kuantitas.
§ Berikan informasi anda secukupnya dan
§ Bebicaralah seperlunya saja
2. Maksim Kualitas
Katakanlah hal yang sebenarnya
Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup
3. Maksim Relevansi
Katakan yang relevan sesuai dengan permasalahan.
4. Masim Cara
Katakan dengan jelas, hindari kekaburan, ketaksanaan, dan bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele dan sistematis.
Keempat prinsip tersebut di atas termasuk pada jenis ‘retorika tekstual’ sebab dalam pragmatik dikenal adanya retorika tekstual dan retorika interpersonal.
Retorika tekstual harus memenuhi 4 prinsip (maksim) kerja sama, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan retorika interpersonal harus memperhitungkan orang lain. Jadi tidak hanya bersifat tekstual. Retorika interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Ada 6 macam prinsip agar memenuhi prinsip kesopanan
Sebelum sampai pada prinsip kesopanan, perlu mengingat kembali dari adanya kategori sintaktik yang terdiri dari berita, tanya, dan perintah. Dalam kategori pragmatik didasarkan pada fungsi komunikatifnya. Yang diperhatikan adalah tuturan. Dalam kaitannya dengan kategori pragmatik ini ada tuturan komisif, tuturan impositif (direktif), tuturan asertif, tuturan ekspresif.
1. Tuturan komisif: berjanji, menawarkan. Misalnya:
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Boleh saya bawakan?
2. Tuturan impositif (direktif): menyuruh, memerintah, memohon. Misalnya:
Apakah Anda bisa menolong saya.
Saya akan datang
(ada efek yang lain untuk memerintah)
3. Tuturan asertif: menyatakan sesuatu (objektif). Misalnya:
Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa.
4. Tuturan ekspresif: menyatakan perasaan (emosi). Misalnya:
Gedung itu indah sekali.
Gadis itu cantik sekali.
Kadang-kadang sulit dibedakan antara tuturan asertif dengan ekspresif.
Selanjutnya agar memenuhi prinsip (maksim) kesopanan, berikut ini inti 6 prinsip kesopanan
menurut Leech.
1. Maksim kebijaksanaan/kedermawanan, tact maxim. Ditujukan pada orang lain (other centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji dan menawarkan (impositif, komisif).
= memaksimalkan keuntungan orang lain, meminimalkan kerugian orang lain.
Misalnya: Ada yang bisa saya bantu?
A:Mari saya bawakan!
B:Tidak usah.
Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.
2. Maksim penerimaan (approbation maxim). Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang lain (self centred maxim). Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji.
= memaksimalkan kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Misalnya:Bolehkah saya bantu?
Mari saya bantu.
Apakah Anda bersedia membawakan?
Bawakan ini!(tidak sopan)
Mari saya antarkan!
Tolong saya dihantarkan!
= memaksimalkan kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Misalnya:Bolehkah saya bantu?
Mari saya bantu.
Apakah Anda bersedia membawakan?
Bawakan ini!(tidak sopan)
Mari saya antarkan!
Tolong saya dihantarkan!
3. Maksim kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim).
Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif.
= memaksimalkan rasa hormat pada orang lain, meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
Misalnya: Tanahmu luas tapi sayang banyak rumputnya.
4. Maksim kerendahhatian (modesty maxim). Pusatnya pada diri sendiri (self centred maxim).
= meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A :Kau sangat pandai.
B :Ah tidak, biasa-biasa saja.
A :Mobilnya bagus!
B :Ah, begini saja kok bagus.
5. Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement maxim). Pusatnya pada orang lain (other
centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif.
= memaksimalkan kesetujuan pada orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain.
Misalnya:
A: Wah cantik banget wanita itu.
B: Iya cantik banget wanita itu.
6. Maksim kesimpatian (symphaty maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim).
Ditujukan untuk menyatakan asertif dan ekspresif.
= memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
Misalnya:
= memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
Misalnya:
A :Saya lolos di UMPTN, Jon.
B :Selamat, ya.
A :Baru-baru ini dia telah meninggal.
B :Oh, saya turut berduka cita
BAB IV
PRINSIP KESOPANAN
A. Pengertian Prinsip Kesopanan
Menurut Leech (1933:206) sopan santun ialah berkenaan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang kita namakan diri dan orang lain.Di dalam prinsip kesopanan ini terbagi atas beberapa maksim, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendah hati, maksim kesepakatan dan maksim simpati.
1. Maksim Kearifan
Adalah mengatur dua jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi direktif dan ilokusi komusif. Isi proposinal ilokusi-ilokusi ini mengacu pada tindakan yang akan dilaksanakan oleh penutur (komusif) atau oleh petutur (direktif). Maksim kearifan ini memiliki dua segi, yaitu segi negative ‘buatlah kerugian sekecil mungkin’ dan segi positif ‘buatlah keuntungan sebesar mungkin.
2. Maksim Kedermawanan
Adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian sebesar mungkin. Maksim kedermawanan ini yang terpusat pada diri tidak perlu dibedakan.
Misalnya:
A: Aku dapat meminjamkan mobilku padamu.
3. Maksim Pujian
Adalah kecamlah orang lain sedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin. Pada maksim ini aspek negatifnya yang lebih penting, yaitu ‘jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain.
Misalnya:
A: Masakan kamu enak sekali
4. Maksim Kerendah hatian
Adalah pujilah diri sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5. Maksim Kesepakatan
Adalah usahakan agar kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin dan usahakan kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin.
6. Maksim Simpati
Adalah tindak ujaran yang sopan dan hormat walaupun ucapan belasungkawa mengungkapkan keyakinan penutur dan bagi petutur merupakan keyakinan yang negative.
B. Skala Kesantunan / Kesopanan
· Skala Kesantunan menurut Leech (Dikutip Kunjana 2008:66).
1) Skala kerugian
2) Skala pilihan
3) Skala ketidak langsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
4) Skala keotoritasan menunjukkan kepada hubungan status sosial antar penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam petuturan.
5) Skala jarak sosial menunjukkan kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah petuturan.
· Skala Kesantunan menurut Brown and Levinson
1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosial cultural.
2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan didasari pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
3) Skala peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.
· Skala Kesantunan menurut Robin Lakoff
1) Skala formalitas dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasakan nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur.
2) Skala ketidak tegasan atau seringkali disebut skala pilihan menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasakan nyaman.
3) Peringkat kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar bersifat santun.
BAB V
TINDAK TUTUR
A. Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur adalah proses dimana komunikasi itu berlangsung dengan memperhatikan situasi ketika tuturan berlangsung oleh penutur yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.
Searle di dalam bukunya Speech Art and Essay in The Philosophy of Language, mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh penutur, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.
1. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagai contoh:
· Ikan paus adalah binatang menyusui
· Jari tangan jumlahnya lima
Konsep lokusi berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini pandangan sebagai kesatuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subyek / topic (Nababan, dalam Wijana 1996:18).
Tindak lokusi dengan pengiriman pesan dan wacana satu-satunya perubahan dalam pernyataan itu dalah pembedaan ‘tujuan ilokusi’ wacana dari tujuan sosial lainnya menjadi ‘tujuan sosial.
2. Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi ialah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga untuk melakukan sesuatu.
Contoh: Saya tidak dapat datang.
Tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasikan karena harus terlenih dahulu mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi.
3. Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh, atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi (Wijana 1996:20).
Contoh : Rumahnya jauh.
BAB VI
DEIKSIS
A. Pengertian Deiksis
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti ‘menunjukkan atau menunjuk’. Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat ‘Saya mencintai Dia’ hanya dapat ditelusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang disebut deiksis.
Dalam KBBI (1991:217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu dari luar bahasa; kata tunjuk pronominal, ketakrifan, dan sebagainya.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998:6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995:217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu kehakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977:683 via Setiawan , 1997:6).
Perujukan atau penunjukkan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
B. Jenis-Jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial (Nababan, 1987:40). Selain itu Kaswanti Purwo (Sumarsono:2008;60) menyebut beberapa jenis deiksis, yaitu deiksis persona, tempat, waktu, dan penunjuk.
a. Deiksis Persona
Deiksis perorangan; menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yang lain.Dieksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dibagi menjadi tiga, yaitu orang pertama: katergori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya, saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada pendengar , misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir, maupun tidak, misalnya, dia dan mereka.
Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannnya bersifat eksoforis, berarti terjadi pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984:106). Bentuk pronominal persona pertama jamak bersifat eksoforis, karena masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
1) Pronomina Persona Pertama
Pronomina persona pertama adalah saya, aku, dan daku. Sedangkan pronominal persona pertama jamak, yakni kami dan kita.
2) Pronomina Persona Kedua
Pronomina persona kedua adalah engkau, kamu, anda, dikau, kau, dan –mu. Pronomina persona kedua jamak, yakni kalian, dan –sekalian.
3) Pronomina Persona Ketiga
Pronomina persona ketiga terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Sedangkan pronominal persona ketiga jamak adalah mereka.
b. Deiksis Tempat
Ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Yang dekat pada pembicara ialah di sini dan yang jauh dari pembicara ialah di situ (Nababan, 1987:41).
c. Deiksis Waktu
Ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Waktu diungkapkan dalam bentuk ‘kala’ (Nababan,1987:41).
d. Deiksis Wacana
Ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987:42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukkan ke sesuatu yang disebut kemudian.
e. Deiksis Sosial
Ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarkatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
f. Deiksis Penunjuk
Di dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara.
C. Penggunaan Kata Ganti Non Deiksis
Kata ganti juga digunakan secara non dieksis ketika kata ganti itu merupakan anafora dalam pengertian tata bahasa tradisional tentang kata.
D. Deiksis dan Acuan
Dari perspektif fungsi semantik bersyarat, kata ganti, dan demonstratif amat mirip dengan nama. Yaitu mengambil acuan, dan kalimat itu mengandung kebenaran jika predikatnya menunjukkan kebenaran dari individu. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang esensial. Kata ganti dan demonstratif memiliki acuan variabel dan mengambil acuan yang berbeda dari kesempatan penggunaan yang berbeda.
BAB VII
WACANA KOHESI DAN KOHERENSI
A. Kohesi dan Koherensi
Seperti halnya bahasa, wacanapun mempunyai bentukdan makna (meaning). Kepaduan makna dan kerapian bentuk merupakan factor penting untuk menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman wacana. Kepaduan (kohesi) dan kerapian (koherensi) merupakan unsur hakikat wacana.
Dalam kata kohesi tersirat pengertian kepaduan, keutuhan, dan pada koherensi terkandung pengertian pertalian, hubungan. Apabila dikaitkan dengan aspek bentuk dan makna, maka kohesi mengacu kepada aspek bentuk dan koherensi kepada aspek makna wacana.
1. Kohesi
Kohesi adalah hubungan antar kalimat di dalam sebuah wacana baik dalam strata gramatik maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976:26)
Sasaran kohesif ke dalam lima kategori, yaitu:
1) Pronomina (kata ganti)
Terdiri dari kata ganti diri, kata ganti petunjuk, dan lainnya. Kata ganti diri ialah saya, aku, kita, kami, engkau, kamu. kau, dia dan mereka. Kata ganti petunjuk ialah inin, itu, situ, sana, di sini, disana, ke situ, dan ke sana.
2) Substitusi (penggantian)
Adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana, 1984:185).
3) Elipsis
Adalah peniadaan kata atau satuan lain yang ujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984:45).
4) Konjungsi
Adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, klaimat dengan kalimat, atau paragraph dengan paragraph (Kridalaksana, 1984:105).
Klausa dikelompokkan atas:
· Konjungsi adversative: tetapi, namun.
· Konjungsi kausal: sebab, karena.
· Konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi.
· Konjungsi korelatif: entah, baik, maupun.
· Konjungsi subordinatif: meskipun, kalau, bahwa.
· Konjungsi temporal: sebelum, sesudah.
5) Leksikal
Diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi. Beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini, antara lain:
· Pengulangan (repetisi): pemuda-pemuda
· Sinonim: pahlawan-pejuang
· Antonim: putra-putri
· Hiponim: angkutan darat-kereta api, bis
· Kolakasi: buku, Koran, majalah-media massa.
· Ekuivalensi: belajar, mengajar, pelajar, pengajar, pengajaran.
2. Koherensi
Dalam sebuah kamus besar, dapat diartikan sebagai berikut:
Kohesi : Perbuatan atau keadaan menghubungkan, mempertahankan.
Koneksi : Hubungan yang cocok dan sesuai atau ketergantungan satu sama lain yang rapi, beranjak dari hubungan-hubungan alamiah, bagan-bagan atau hal-hal satu sama lain, seperti dalam bagian-bagian wacana, atau argument-argumen suatu rentetan penalaran (Webster, 1983:325).
Pada pengertian di atas terlihat perbedaan nyata antara kohesi dan koherensi. Walaupun ada perbedaan, keduanya saling menunjang, saling berkaitan, ibarat dua sisi mata uang.
Frank J. D’Angelo (1980) telah meneliti serta mendaftarkan aneka sarana koherensi paragraf:
· Sarana penghubung yang bersifat aditif (penambahan): dan,juga, lagi, pula.
· Penggunaan repetisi (pengulangan)
· Komparasi (perbandingan) dapat menambah serta meningkatkan kekoherensifan wacana.
Kridalaksana (1978), memperinci jenis-jenis keutuhan wacana dari segi makna, antara lain:
1) Penggunaan sarana hubungan sebab akibat
2) Penggunaan sarana hubungan alasan-akibat
3) Penggunaan hubungan sarana-hasil
4) Penggunaan sarana hubungan sarana-tujuan
5) Penggunaan sarana hubungan latar-kesimpulan.
6) Penggunaan sarana hubungan hasil-kegagalan
7) Penggunaan sarana hubungan syarat-hasil
8) Penggunaan sarana hubungan perbandingan
9) Penggunaan sarana hubungan parafrastis
10) Penggunaan sarana hubungan amplikatif
11) Penggunaan sarana hubungan aditif temporal
12) Penggunaan sarana hubungan aditif non-temporal
13) Penggunaan sarana hubungan identifikasi
14) Penggunaan sarana hubungan generic-spesifik
15) Penggunaan sarana hubungan ibarat
Dari beberapa penjelasan di atas, jelaslah betapa eratnya hubungan antara bahasa dan logika. Unsur-unsur kelogisan turut menentukan utuh atau tidaknya suatu wacana; kelogisan bentuk dan kelogisan makna.
BAB VIII
FUNGSI BAHASA
A. Pengertian Bahasa
Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminology mengartikan bahasa sebagai system lambang bunyi yang arbiter yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Gorys Keraf (1994:1) memberikan pengertian bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Bahasa adalah system dari lambang bunyi arbiter yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri.
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian bahasa mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Sistem lambang bunyi yang arbiter
2) Alat komunikasi
3) Symbol bunyi yang memiliki arti serta makna
4) Digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi
B. Pragmatik dan Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan.
Fungsi Bahasa dalam Masyarakat:
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesame manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
C. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa:
1. Ragam bahasa pada bidang tertentu, seperti bahasa istilah hokum, bahasa sains, dan bahasa jurnalistik.
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa.
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek bahasa daerah.
4. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan tulisan.
5. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial.
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal dan non formal.
Bahasa isyarat (gesture) adalah salah satu cara berkomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Menurut Mahmudah dan Ramlan (2007:2-3) adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat Indonesia.
Gorys Keraf (2001:3-8) menyatakan bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu:
1. Alat untuk menyatakan ekspresi diri
2. Alat komunikasi
3. Alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
4. Alat mengadakan kontrol sosial
BAB IX
PENGAJARAN PRAGMATIK
A. Definisi Pragmatik
1. Pragmatik adalah kajian mengenai hubunagn antara tanda (lambang) dengan penafsirnya,
2. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa.
3. Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistic dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab linguistic.
B. Implikasi Pendekatan Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Menurut (http://agnesnorma.wordpress.com/2010/05/20/ringkasan-jurnal/) yang di acces pada tanggal 02 Juni 20010adalah : Pertama, di dalam pengajaran dengan pendekatan pragmatik tujuan pengajaran yang harus dicapai adalah dimilikinya kemampuan komunikatif (use of linguistic elements). Kedua, pengajaran yang berupa satuan-satuan lingual itu harus disajikan di dalam suatu konteks komunikasi yang riil, bukan dibuat-buat. Ketiga, karena di dalam konteks komunikasi yang riil satuan-satuan lingual itu tidak tersaji secara sistematis, maka tekanan penyajian perlu diprioritaskan pada kadar keseringan kemunculan satuan-satuan lingual di dalam suatu konteks diisyaratkan bahwa penekanan penyajian pada urutan-urutan satuan lingual berdasarkan temuan linguistik menjadi kurang penting. (http://agnesnorma.wordpress.com/2010/05/20/ringkasan-jurnal/)
BAB X
SITUASI TUTUR DAN JENIS TINDAK TUTUR
Situasi Tutur dan Jenis Tindak Tutur
- Situasi Tutur
1. Aspek-Aspek Situasi Tutur
Pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks Leech (1983) mengungkapakan bahwa Pragmatics Studies Meaning In Relation To Speech Situation.
Contoh:
a) Temboknya baru dicat.
Secara formal,tanpa mempertimbangkan konteks pemakainya, kalimat adalah kalimat deklaratif. Sebagai kalimat deklralatif, kalimat a berfungsi untuk mengimformasikan sesuatu, yakni tempat yang bersangkutan jauh dari kota dan tembok yang dibicarakan itu baru dicat.
Leech (1983) mengemukakan sebuah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik.
Aspek-aspek itu antara lain:
1. Penutur dan Lawan Tutur
Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, dan tingkat keakraban.
2. Konteks Tuturan
Konteks tuturan penilitian linguistic adalah knteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tutran yang bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut konteks.
3. Tujuan Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakngi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tutuan sebagai bentuk tindakan atau aktifitas.
Bila gramatikal menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang asbtrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik maka pragmatik berhubungan denga tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih kongkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraanya.
4. Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan yang digunakan dalam rangka pragmatik seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakn bentuk dari tindak tutur. Oleh karenya tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.
2. Perberdaan Analisis Linguistik Struktural Dengan Analisis Pragmatik
Berikut ini akan disajikan analisis wacana secara linguistik struktural dan pragmatik wacana yang dijadikan bahan analisis adalah teks iklan bumbu nasi goring kokita.
Misalnya dalam contoh:
a. Regu tembak: Coba katakana apakah permintaan terakhirmu!
Tahanan : Nasi goring kokita
Regu tembak dan tahanan: Hm(makan nasi goring bersama-sama)
Bila dianalisis secara structural, wacana diatas adalah dialog yang terbentuk dari kalimat perintah yang didalamnya mengandung klausa introgatif- informative coba katakana, apa remintaan terakhirmu? Dan kalimat jawab nasi goring kokita, serta kalimat minor (kalimat tak berklausa) Hm! Selanjutnya kluasa coba katakan terdiri dari penanda perintah coba dan predikat dikatan apa permintaan terakhirmu terbentuk dari kata tanya apa yang berfungsi sebagai predikat klausa dan permintaan terakhirmu dalam permintaan subjek.
Analisis pragmatik yang mempertimbangkan situasi tutur akan sampai pada kesimpulan bahwa penulisan wacana a diatas terkandung maksud untuk mengatakan secara tidak langsung bahwa nasi goring dengan bumbu masak kokita sangat enak.
- JENIS-JENIS TINDAK TUTUR
1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Secara formal, berdasarkan modusnya kalimat dibedakan menjadi kalimat berita, kalimat tanya dan kalimat perintah. Kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (infomasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan dan permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk menyatakan sesuatu kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh maka tindak tutur yang terbentuk tindak tutur langsung.
2 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tindak Literal.
Adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur yang tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
3 Interaksi Berbagai Jenis Tindak Tutur.
Bila tindak tutur langsung sering digunakan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal akakn didapatkan tindak tutur-tindak tutur berikut ini:
a) Tindak Tutur Langsung Literal.
Tindak tutur langsung literal, adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dengan makna yang sama dengan maksud pengutaranya.Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita dan menanyakan denagn kalimat tanya.
b) Tindak Tutur Tidak Langsung Literal.
Tindak tutur tidak langsung literal, adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraanya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan dengan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
c) Tindak Tutur Langsung Tidak Literal.
Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang meyusunya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah.
d) Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal.
Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan Hendri Guntur.2009.Pengajaran pragmatik.Angkasa Bandung.
Wijaya, Dewa Putu.1994. Dasar dasar pragmatik.Yogyakarta: ANDI.
Kumpulan Makalah Diskusi.
Langganan:
Postingan (Atom)